THE POLICE LINE

Semakin lama saya hidup, semakin saya sadar Akan pengaruh sikap dalam kehidupan Sikap lebih penting daripada ilmu, daripada uang, daripada kesempatan, daripada kegagalan, daripada keberhasilan, daripada apapun yang mungkin dikatakan atau dilakukan seseorang.

Selasa, 12 Agustus 2008

Mengapa Menulis MEMOAR

Mengapa Menulis Memoar

Author: Citra Yudha Erlangga

1. Mengapa Menulis Memoar?

Pertanyaan seperi di atas sering kali muncul dari peserta workshop kepenulisan di mana saya menjadi pembicaranya. Terutama kalau saya sedang meluncurkan atau bedah buku, karya saya berupa memoar.

Dengan menulis memoar aku bisa bersibuka lebih leluasa, berbagi pengalaman dengan cara sederhana, bertutur kata yang bersahaja.

Orsinalitas sangat terpelihara; karena tak semua orang memiliki lakon yang sama, pemikiran dan solusi yang serupa.

Ada sesuatu yang ingin disampaikan dan hanya bisa melalui jenis tulisan semacam memoar atau catatan harian ini, tidak bisa disampaikan melalui fiksi seperti novel.

Bisa lebih jujur dalam menyampaikan parasaan, pemikiran atau visi dan misi perikehidupan kita.

Lebih karena alasan pribadi; saya sering merasa hampir tak punya waktu lagi, mengingat penyakit abadi yang saya derita, jadi setiap saat sering tergelitik untuk mencatat lakon demi lakon. Sehingga begitu banyak buku harian, akhirnya merasa sayang kalau dibiarkan “bulukan” begitu saja.

2. Apakah Tidak Menimbulkan Pro dan Kontra?

Memang harus diakui, ada pro dan kontra yang lumayan signifikan dibandingkan dengan karya berupa fiksi.

3. Bagaimana Menyikapi Kecaman Pembaca?

Sebagaimana dengan karya fiksi, saya tidak akan morang-maring, meskipun mendapat kecaman yang menyakitkan dan tidak relevan sama sekali.

Kita menjelaskan apa adanya, apa yang diinginkan atau menjadi rasa penasaran pembaca.

4. Benarkah Memoar Tidak Dianggap Sebagai Karya Sastra?

Tergantung bagaimana penulis menyampaikannya; apakah dengan bahasa sastra atau ringan yang lazim disebut sebagai karya populer.

5. Kapan Mulai Menulis Memoar?

Sejak remaja kita harus berusaha untuk selalu menulis memoar....

posted by: citra yudha erlangga

Merawat Konsistensi

Author: Citra Yudha Erlangga

Berawal dari sebuah tujuan.

Saat sebuah tujuan terlintas dalam benak, dengan semangat empat lima kita akan berusaha menggapainya saat itu juga. Namun seiring berjalannya waktu, api semangat akan luntur lantaran menghadapi hujan cobaan yang demikian derasnya. Satu kata tanya, kenapa?
Saat pertama kali kita memikirkan sebuah tujuan, motivasi untuk menggapai tujuan tersebut masih melekat erat pada pikiran kita. Maka setelah beberapa saat mengalami jatuh bangun dalam menggapai tujuan, kita akan menyerah dan menganggap tujuan tersebut mustahil untuk dicapai karena kita sudah lupa terhadap motivasi awal. Saat kita merasa jatuh tersungkur dalam pusaran kegagalan, cobalah untuk mengingat kembali betapa pentingnya tujuan utama dan motivasi awal yang mendasari kenapa kita sangat ingin mencapai tujuan tersebut. Kemudian Anda pasti bisa melanjutkan perjalanan menuju tujuan yang ingin diraih.

Yang pertama adalah yang terberat, begitu pula dengan langkah pertama dalam menggapai sebuah tujuan. Masih ingatkah Anda dengan sebuah film berjudul Evan’s Almighty? Film tersebut mengajarkan kita bagaimana untuk memulai: lakukan satu tindakan secara acak. Tindakan yang bagaimana yang bisa membawa kita kepada tujuan? Tindakan itu adalah tindakan yang paling dekat dan yang paling mungkin. Bayangkan tujuan sebagai garis finish di seberang aula yang gelap, sedangkan kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi ketika menyeberangi aula. Bagaimana caranya kita mencapai tujuan di seberang aula? Pertama-tama melangkahkan kaki ke lantai terdekat dahulu kan? Setelah melangkah dan melihat ke sekitar barulah kita mengetahui apa yang harus kita hadapi berikutnya, apakah tangga yang langsung membawa kita menuju seberang aula, atau sebuah jurang terjal tanpa dasar.

Salah satu kesalahan terbesar dalam konsistensi adalah membiarkan vakum menyerangmu. Ketika kau memutuskan untuk berhenti sesaat maka kau akan terhenti lebih lama karena kemalasan akan menyerangmu lebih hebat dan menahanmu lebih lama, hingga pada akhirnya konsistensimu hilang begitu saja. Jangan pernah memutuskan untuk berhenti atau kau akan berhenti selamanya.

Berikut adalah faktor-faktor terpenting dalam konsistensi:
• Jadwal fleksibel. Jadwal memang ditujukan bagi disiplin diri namun jangan lupa: jadwal bukanlah harga mati.
• Dukungan. Pada saat tertentu, pujian dan kritik memang bisa melumpuhkan namun bisa membuat kita bangkit kembali.
• Lihat ke depan. Coba interopeksi, lihat segala kekurangan. Bukankah kita belum pantas merasa malas?
• Jangan pernah melihat ke belakang. Selain diperlukan untuk menghindari tiang listrik, dengan TIDAK melihat ke belakang kita tidak akan (merasa) telah berusaha sebelum mencapai tujuan akhir. Jadi bidikkan tujuan setinggi-tingginya, di depan sana. Anda tidak butuh kaca spion dalam konsistensi.
• Jadikan sebagai bagian kehidupan. Jika segala usaha dijadikan selaras dengan nafas, maka kita tidak akan pernah merasa lelah untuk bernafas karena kita hidup dengannya. Setiap usaha dalam konsistensi adalah hak, bukan kewajiban. Hak Anda untuk memperoleh impian. Usaha sama dengan nafas, kita tidak pernah memilih untuk bernafas dan kita harus tetap bernafas—entah udara itu segar atau berdebu.

Konsistensi Berganda

Setelah meraih sebuah tujuan dengan konsistensi, target-target lain akan muncul seiring dengan terpupuknya kepercayaan diri. Konsistensi berganda itu bisa diwujudkan dan wajar!

Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat kita melangkah kepada konsistensi berganda:
• Bobot. Jika kita mementingkan salah satu target, yang lain sangat mungkin terlalaikan. Seimbangkan bobot mereka, jangan pilih kasih!
• Memanfaatkan jadwal yang flexibel. Waktunya merubah jadwal. Saat berhadapan dengan banyak target, masing-masing target ada potensi besar dalam suatu waktu tertentu. Ingat, jadwal bukanlah harga mati.
• Selalu buka mata. Langkah untuk mencapai setiap tujuan sangat bergantung dengan kemampuan Anda dalam menganalisa kesempatan atau “short cut”. Buka mata dan jadilah selalu peka.

Sukses selalu untuk Anda!

Pendidikan Nilai Berwawasan Global

Author: citra yudha erlangga

Judul : Pendidikan Transformatif (Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi)
Penulis : Musthofa Rembangy, M.Si.
Penerbit : Teras - Yogyakarta
Cetakan I : April - 2008
Tebal : xxxvi + 241 halaman

Dinamika esensi keberadaan pendidikan di tanah air selama ini, terasa tidak lebih dari apa yang disebut dengan “pabrik intelektual”. Sehingga hakikat pendidikan sejatinya seakan terabaikan begitu saja. Mengidentifikasikan bahwa dunia pendidikan kita telah mengalami pergeseran dari nilai-nilai luhurnya. Digantikannya dengan produk-produk egoisme diri dan kebinatangan yang semakin serakah, tidak adil dan hampa akan nilai-nilai filosofis. Aksentuasinya terletak pada pembentukan wawasan para intelektual yang hanya terjebak pada nilai-nilai kehidupan yang kering akan moralitas dan etika dalam kehidupan bermasyarakat.

Asumsi itu tidak lain didasarkan adanya beragam fakta yang menunjukkan bahwa di segala jenjang dan bidang kehidupan di negeri ini mengalami krisis filosofi hidup. Mereka yang terdidik justru menjadi koruptor sedangkan mereka yang tidak terdidik malah menjadi maling. Ada pula golongan yang kebingungan, lalu menjadi tukang pengisap sabu-sabu dan terjerumus pada narkoba. Padahal tujuan pendidikan sebenarnya adalah melahirkan individu-individu yang merdeka, matang, bertanggungjawab dan peka terhadap permasalah sosial di lingkungan sekitarnya.

Kisah Cinta Gadis Penjaga Tokoh



KISAH CINTA SI GADIS PENJAGA TOKO
posted by:citra yudha erlangga

Judul : Shopgirl
Penulis : Steve Martin
Penerbit : Theia Books, New York
Jumlah hal : 130 halaman


“Don’t judge a book by its title.”
Mungkin itulah yang bisa menggambarkan buku berjudul sederhana karya Steve Martin ini. Meski saya akui, saat menemukan buku ini di toko buku bekas dekat rumah, saya sendiri sempat underestimate pada awalnya. Hanya karena, judulnya mengingatkan saya pada salah satu judul buku chicklit—Shopaholic something.

Namun saat menimbang-nimbang buku bersampul merah dengan foto tampak belakang seorang gadis berambut panjang ini, sontak saya teringat dengan satu percakapan bersama salah seorang teman saya, Diana Tri Wulandari.

TW—begitu saya biasa memanggilnya adalah seorang pelahap buku yang rakus. Di luar hobi masak dan kecintaannya pada balap mobil, TW banyak melahap buku filsafat, postmodernisme, psikologi, dan sastra.

Karenanya, saya agak heran, saat ia menyelipkan nama Steve Martin dalam percakapan ketika kami pulang bersama.
“Steve Martin tuh bukannya yang sering main film-film komedi ya?” tanya saya dengan dahi berkerut—Steve Martin bermain dalam Roxanne, Father of the Bride, Parenthood, The Spanish Prisoner, L.A Story, dan Bowfinger.

“Iya. Nah, ternyata dia itu kolumnis New York Times, Jo—panggilan teman-teman kampus pada saya. Dan ternyata tulisannya bagus, lho. Kontemplatif gitu, Jo. Mungkin akting komedi untuk menyeimbangkan hidupnya kali, ya,” jawab TW terkekeh-kekeh.
“Oya?” tanya saya masih sangsi.
“Iya, Jo. Dan tulisannya deskriptif banget. Lo pasti suka, deh.”
***

Well, TW benar.
Dari kalimat pertama “When you work in the glove department at Neiman’s, you are selling things that nobody buys anymore,” saja saya sudah terpikat.
Terlebih saat kalimat itu dilanjutkan dengan deskripsi Martin tentang tokoh utama dalam buku ini, Mirabelle—the shopgirl. “Everyone is silent at Neiman’s, as though it were a religious site, and Mirabelle always tries to quiet the tap-tap-tapping of her heels when she walk across the percussive marble floors. If you saw her, you would assume by her gait that she is in danger of slipping at any moment. However, that is the way Mirabelle walks all the time, even on the sure friction of a concrete sidewalk. She has simply never quite learned to walk or hold herself comfortably, which makes her come off as an attractive wallflower.”
Nah, siapa yang tak jatuh cinta dengan deskripsi semacam itu?
***

Bagi saya, plot buku ini sendiri bisa dibilang sederhana.
Dimana Mirabelle—seorang penjaga toko sarung tangan Neiman’s di Los Angeles—sempat berkencan bersama seorang pria muda bernama Jeremy. Tak diduga, tampilan rapuh gadis yang piawai melukis ini ternyata malah menarik perhatian seorang pengusaha kaya bernama Ray Porter. Ray yang terpikat pada Mirabelle pun mengiriminya sepasang sarung tangan mahal ke apartemen Mirabelle.
Setelah melewati beberapa makan malam bersama Ray, Mirabelle pun memutuskan untuk berkencan bersama pria yang umurnya nyaris dua kali lipat dari umurnya ini.

Enam bulan berkencan dengan Mirabelle, Ray pergi ke luar kota untuk suatu perjalanan bisnis. Di sana, ia tidur dengan wanita lain. Pun one night stand itu digambarkan Ray sebagai “It was not romantic or intimate, and I did not stay the night with this person,” dalam suratnya kepada Mirabelle di halaman 97, namun, pada akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah. Keputusan yang pada akhirnya, membawa Mirabelle kembali pada Jeremy.

Sebuah plot yang cukup sederhana.

Namun lagi-lagi, kesederhanaan plot itu dibungkus oleh Martin dengan pita rangkaian kata yang cantik. Dengan telatennya, ia menyelami sisi kehidupan setiap tokoh. Mulai dari cara mereka duduk, cara mereka makan, cara mereka menerima telepon, apa yang dimakan mereka saat weekend, rutinitas pagi mereka, cara mereka mengatur pencahayaan dalam rumah, dan detil-detil lainnya yang tak hanya dideskripsikan secara suasana oleh Martin, namun juga deskripsi emosi.

Tak jarang, satu subbab hanya mengisahkan tentang satu tokoh saja, atau hanya tentang satu kejadian, atau bahkan tentang satu hari saja. Misalnya “Monday”, “Jeremy”, “The Weekend”, atau “Mr Ray Porter.”

Dalam subbab “Mr Ray Porter” di halaman 36, misalnya. Dimana pada paragraf pertamanya, Martin mendeskripsikan ketertarikan Ray pada Mirabelle.

Martin menuliskan “There is nothing too mysterious about Ray Porter, at least in the unusual sense of the word. He is single, he is kind, and he does not understand himself, or women, or his relationships with women. But there is one truth about him that can be said of a man who asks a woman to dinner before he has ever exchanged one personal word with her. Mr Ray Porter is on the prowl. He does not know Mirabelle, he has only seen her. He has responded to something visceral, but that visceral thing is only in him, not between them. Not yet. He only imagines the character that unites her clothes, her skin, and her body. He has imagined the pleasure of touching her, and imagined her pleasure at being touched. She is a feminine object that tweaks him at his animal best.”
Yang dilanjutkan di halaman 37 dengan “His attraction to Mirabelle is not random. He is not out and about sending gloves all over the city. His action is a very spontaneous and specific response to something in her. It may have been her stance: at twenty yards she looks off-kilter and appealing. Or maybe it was her two pinpoint eyes that made her look innocent and vulnerable. Whatever it is, it started from an extremely small place that Mr Ray Porter never could have identified.”
***
“Six month pass unnoticed as Ray and Mirabelle live in a temporary and poorly constructed heaven, with him flying in and out, visiting her, taking her to fine restaurant, then back to his place, sometimes sleeping with her, sometimes not” (hal 96).
Termasuk di dalamnya: mengantarkan Mirabelle ke dokter saat persediaan Serzone—obat antidepresan—nya habis. Ya, Mirabelle menderita depresi. Depresi yang telah menjadi teman hidupnya, sejak ia tumbuh di Vermont.
Depresi yang dideskripsikan Martin di subbab “Girl Friday” (hal 81).
“Locked in the darkness of her car, with the wipers set on periodic, she feels uneasy. The night scares her. Then the uneasiness gives way to a momentary and frightening levitation of her mind above her body. She can feel her spirit disconnect from her corporeal self, and her heart starts racing. She had felt its calling card months earlier, this unwelcome visitor in her body, who seemed to fly through her and then was gone. This time it is stronger than before, and it stays longer. It is a though her body is held down by weights and her mind is being methodically disassembled.
…The phone rings but she cannot answer. She hears Ray Porter leave a message. She drags herself to bed without eating. She closes her eyes, and the depression helps her sleep. Sleep, however, is not relief. The depression is not go away, politely waiting to come back in the morning when she is refreshed. It stays, and tonight it works on Mirabelle even as she sleeps, poisoning her dreams.” (hal 82)

Depresi ini jugalah yang dialami saat Ray berselingkuh.

Setelah menenangkan diri di Vermont usai membaca surat Ray, Mirabelle memutuskan untuk kembali bersama Ray. “Mirabelle no longer knows what she believes about her relationship with Mr Ray Porter. She no longer asks herself questions about it; she simply resides in it. Ray continues to see her, pays off her credit card debt and student loan, replaces her truck. These gifts, though he doesn’t know it, are given so that she will be all right after he leaves her.” (hal 106).
Bagaimanapun “Ray and Mirabelle’s relationship does not collapse that day; it subtly dwindles over the next six months. There are fits and starts, but they can all be graphed on a downward slope. He takes her to dinners, drives her home, hugs her goodnight. Sex is over. Ray finally grasps that he is giving her nothing and that he has to think for the both of them and separate from them. He pulls back and she reflexively, protectively, does the same. She hits bottom,” (hal 121).

Dalam kondisi ini, Mirabelle memutuskan pergi ke San Fransisco untuk menjadi pelukis profesional. Di sana, ia bertemu kembali dengan Jeremy. “Mirabelle takes months to accept Jeremy, and Jeremy patiently waits. And as he stands by, his feelings for Mirabelle grow. One night, she cries in his arms when a recollection of Ray flirts with her memory, and he holds her and doesn’t say a word. Where his insight comes from as he courts her, even he doesn’t know. It might have been that he was ready to grow up, and the knowledge was already in him, like a dormant gene,” (hal 126).

Beberapa bulan kemudian—after the hard edges of their breakup had smoothed into forgetfulness (hal 129)—Mirabelle menelpon Ray. “They reminisce about their affair and she tells him how he helped her and he tells her how she helped him, then he apologizes for the way he handled everything. ‘Oh, no … don’t,’ she corrects him: ‘it’s pain that changes our lives.’ And there is a pause, and neither speaks. Then Mirabelle says, ‘I took the gloves to Vermont and stored them in my memory box—my mother asked me what they were but I kept it to mysef—and here in my bedroom, in my private drawer, I keep a photo of you’, ” (hal 130)
***

Bagi saya, membaca buku ini perlu kesabaran tersendiri.

Tak hanya minim kalimat langsung, ada kalanya deskripsi detil Martin justru melelahkan. Apalagi saat kita sudah kadung “kelaparan” dengan ending cerita.
Tapi mungkin itulah seninya menikmati buku karya Steve Martin yang pernah memenangkan Emmy Award untuk penulisan naskah TV ini.
Dengan plot sederhananya, ia tak dimaksudkan sebagai “main course” yang berat, ataupun “appetizer” yang menggoda. Bagi saya, buku ini lebih seperti “dessert”. Ibarat cake yang kaya krim. Seperti tiramisu.
Dan bagaimana caranya menikmati “buku tiramisu” ini?
Sederhana saja. Cuil sedikit demi sedikit. Rasakan “krim” kata-kata ini lumer di mulut dan kepala, dan “kunyahlah” pelan-pelan.
Selamat “makan”!

Setahun Lumpur Panas Lapindo porong (Jawa Timur)

Setelah setahun lumpur panas menyembur di bumi Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, kehancuran semakin tak terperikan. Rumah, fasilitas sosial, pabrik, kantor dan sawah ladang terus-menerus berada dalam hitungan mundur menjadi tumbal pengorbanan, tenggelam ke dalam kubangan lumpur panas. Menatap alam di sekitar semburan lumpur panas, kita lalu seperti melihat sebuah the lost city, kota yang hilang. Ribuan penduduk beserta keluarga mereka merana dan dilanda depresi sosial (editorial Koran Tempo, 28 Mei 2007) lantaran kehilangan tempat berteduh, mata pencaharian serta kehilangan sukma kebudayaan di atas pelataran bumi tempat berpijak.

Karena itu, musnah sudah apa yang disebut “alam terkembang menjadi guru”. Aspek statistikal yang dengan serta merta dapat dibaca sebagai potret kehancuran adalah magnitude investasi dalam ranah perekonomian masyarakat. Sekadar catatan, jumlah investasi di Sidoarjo dengan nilai Rp 5 juta hingga Rp 200 juta pada periode Januari-April 2007 hanya mencakup 8 industri. Bandingkan dengan periode yang sama tahun 2006, terdapat 11 industri. Adapun industri dengan nilai investasi lebih besar dari Rp 200 juta selama Januari-April 2007 tercatat 10 industri. Padahal, pada periode yang sama tahun sebelumnya mencapai 14 industri.

Secara keseluruhan data tersebut memperlihatkan fakta, bahwa sepanjang tahun 2006 ada 8 industri penanaman modal asing (PMA) dan 13 industri penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang menanamkan investasi di Sidoarjo. Namun kontras dengan itu, selama Januari-April 2007 belum ada PMA dan PMDN yang mau menanamkan modal di Sidoarjo (Kompas, 28 Mei 2007, hlm. 15).

Realisme ini dapat dibaca secara terang benderang dalam kaitan makna dengan bencana lumpur panas Lapindo yang meluluhlantakkan Porong sejak 29 Mei 2006. Bersamaan dengan itu tak ada kejelasan waktu kapan semburan lumpur panas Lapindo memasuki fase epilog. Hanya saja, jika benar kesimpulan para ahli geologi bahwa semburan lumpur itu memakan waktu sekitar 30 tahun ke depan, maka tak ada kata yang tepat melukiskan nestapa yang menerpa kawasan Sidoarjo selain mengakui adanya kenyataan buruk di sekitar musnahnya perekonomian masyarakat. Dari sini pula timbul pertanyaan bernada filosofis, hikmah apa sesungguhnya yang dapat dipetik dari penurunan investasi di Sidoarjo?

Demi memperkuat daya tahan perekonomian masyarakat di masa depan, apa yang dapat kita mengerti dari fakta dan kenyataan berkenaan dengan penurunan investasi di Sidoarjo?

Mungkinkah realitas buruk sebagaimana terpampang di Sidoarjo itu hadir kembali di tempat lain di masa depan, sebagai sebuah repetisi yang sama sekali tak menghibur?

Sesungguhnya, kehancuran perekonomian masyarakat Sidoarjo akibat lumpur panas Lapindo Brantas dapat ditemukan penjelasannya dari berbagai macam perspektif. Karena itu, izinkan analisis berita ini menyumbang satu perspektif untuk menyingkap hakikat kehancuran investasi di Sidoarjo. Perspektif dimaksud adalah menyibak kejatuhan investasi di Sidoarjo sebagai resultan dari kehancuran sistem kapitalistik pada ranah lokal perekonomian.

Jauh sebelum petaka atau bencana lumpur panas Lapindo datang dengan membawa takdir kehancuran, Sidoarjo merupakan sub-urban dalam kedudukannya yang cukup strategis sebagai satelit perekonomian bagi Surabaya. Sementara, Surabaya sendiri merupakan ibukota Jawa Timur serta kota terbesar nomor dua di Indonesia. Itulah mengapa, Sidoarjo memiliki daya tarik sebagai salah satu tujuan investasi di Jawa Timur.

Tragisnya, lumpur panas Lapindo telah mengubah segalanya. Infrastruktur yang hancur karena lumpur panas Lapindo semakin menutup kemungkinan terjadinya aliran investasi ke Sidoarjo. Bahkan, begitu spektakuler kehancuran infrastruktur itu sampai-sampai mencetuskan kerugian hingga mencapai Rp 7,6 triliun (Indo Pos, 29 Mei 2007, hlm. 8). Sementara, total kerugian versi Bappenas sejauh ini telah mencapai Rp. 27,4 triliun (editorial Koran Tempo, 28 Mei 2007). Maka, panggung perekonomian Sidoarjo pada akhirnya memang benar-benar tutup layar untuk diperhitungkan sebagai daerah tujuan investasi.

Hanya saja, nestapa yang menerpa perekonomian masyarakat Sidoarjo itu tak mungkin dibaca secara telanjang sebagai akibat logis dari munculnya kekuatan tandingan terhadap kapitalisme. Perekonomian masyarakat di Sidoarjo bukanlah panggung yang mempertontokan kematian kapitalisme oleh, katakanlah, bangkitnya sosialisme. Kehancuran perekonomian masyarakat Sidoarjo justru disebabkan oleh sistem dan model kapitalistik yang inherent ke dalam pola kerja Lapindo Brantas Inc. Dengan kata lain, Sidoarjo mempertontonkan drama buruk kehancuran kapitalisme justru oleh model dan sistem kapitalisme itu sendiri yang diimplementasikan untuk tujuan lain. Secara kategoris, Lapindo Brantas Inc. bekerja sebagai agen kapitalisme pertambangan. Perlahan tapi pasti, inilah kapitalisme yang kemudian bergeser menjadi kekuatan perusak (juggernaut) terhadap kapitalisme industrial yang sebelumnya telah berjalan dan menemukan bentuknya di Sidoarjo.

Sebagaimana diketahui, asal mula munculnya lumpur panas di Sidoarjo terkait erat dengan pola pengusahaan pertambangan gas oleh sebuah kekuatan korporasi yang kemudian diketahui bernama Lapindo Brantas Inc. Dalam hal ini, Lapindo Brantas Inc. bergerak dengan mengadopsi sebuah prinsip perekonomian yang oleh Naomi Klein (The Nation, 2 Mei 2005) digambarkan sebagaithe rise of disaster capitalism. Logika yang bekerja dalam kapitalisme model ini adalah menekan serendah mungkin seluruh biaya yang harus dikeluarkan dalam hal menangkap peluang dan demi meraup keuntungan dalam jumlah yang sangat besar. Manakala untuk keperluan itu harus dilakukan dengan cara-cara gegabah, merusak lingkungan dan menghancurkan masyarakat, maka itulah konsekuensi yang tak terelakkan.

Dengan demikian, disaster capitalism merupakan monster yang bangkit dari kancah ambisi kaum kapitalis untuk kemudian memangsa dan meluluhlantakkan kaum kapitalis yang lain. Tak cukup itu, kapitalis semacam ini menistakan masyarakat serta menghancurkan kebudayaan dan tradisi sosial pada tingkat lokal. Dengan sendirinya, Porong dalam bentangan geostrategis Sidoarjo betul-betul dinisbikan semata sebagai terra nullius atau kawasan yang dipersepsi sebagai sama sekali “tak memiliki eksistensi”.

Bertitiktolak dari kenyataan ini maka muncul pertanyaan yang bercorak hipotetik: mungkinkah kapitalis memangsa kapitalis lain atau borjuasi menelan sesama borjuasi merupakan sosok kapitalisme ala Indonesia? Apakah gelombang disaster capitalism yang dipertontonkan Lapindo Brantas Inc. itu merupakan prolog yang akan diikuti oleh kemunculan disaster capitalism dalam format yang lain di masa depan? Meminjam perspektif Lester C. Thurow dalam The Future of Capitalism (New York: William Morrow & Co., Inc., 1996), ada sesuatu yang tak terperikan antara masa kini dan masa depan. Kekuatan-kekuatan ekonomi yang bekerja pada hari ini, menentukan kenyataan masa depan. Ini berarti, ada semacam bola salju persoalan yang jika menggelinding bakal membesar dengan intensitas yang kian tinggi. Disaster capitalism lalu menjadi semacam petaka yang melahirkan karma di masa depan jika tak diamputasi dengan segera saat ini juga.

Pemerintah merupakan regulator yang memiliki otoritas penuh memotong segenap kemungkinan timbulnya karma disaster capitalism. Sayangnya rezim kekuasaan pengendali pemerintahan kini sangat lembek berhadapan dengan kaum kapitalis pemilik Lapindo Brantas Inc. Rezim kekuasaan kini seakan buta dan tuli, bahwa setahun lumpur panas Lapindo muncrat telah menistakan kehidupan anak-anak bangsa secara amat telanjang, di sana, di Porong sana, di sana ….. di sana …. Rezim kekuasaan loyo politik semacam inilah yang mengondisikan munculnya Lapindo-lapindo yang lain di tempat lain.



by: citra yudha erlangga

Santiago, Chile

Tau Kota Santiago di Chili Selatan ngga? Gue baca aja di Yahoo gitu, kalo ada sebuah danau di daerah Santiago yang tiba-tiba ilang, Letak lebih tepatnya adalah di daerah Magallanes (bacanya Mahayanes) di Patagonia. Oh iya, Danau ini bukan sembarang danau, soalnya air yang mengisi danau itu kebanyakan berasal dari pencairan glacier yang emang ada. Danau yang dimaksud memiliki area diantara 4 hingga 5 hektar, kurang lebih sekitar 10 lapangan sepak bola deh.

Nah, Juan Jose Romero, regional director of Chile’s National Forestry Corporation CONAF, kesana tuh sekitar bulan maret gitu, dan menurut pandangan dia, danau itu masih penuh dengan air, which is masih normal gitu menurutnya. terus dateng lagi pada bulan mei, dan mereka terkaget-kaget kalo mereka ngga nemuin danau itu lagi, maksudnya tuh tempatnya kering, tanpa air. anehnya… lalu, mereka juga bilang kalo yang tersisa itu cuman potonga-potongan es dan fissure besar (gue ngga tau artinya apa, relevansi di wikipedia kok kecil sekali niy, mungkin ada yang bisa bantu?).

nah si CONAF ini menyelidiki gejala alam ini, mereka memiliki teori bahwa area ini terkena getara bumi yang menyebabkan retaknya bagian tanah, sehingga airnya tuh masuk ke retakan tersebut. Untuk informasi saja, Bahwa Chili selatan sering diguncang getaran bumi kecil hingga ribuan kali pada tahun ini..

by:citra yudha erlangga

Sampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya suatuproses. Sampah merupakan konsep buatan manusia, dalam proses-proses alam tidak ada sampah, yang ada hanya produk-produk yang tak bergerak.

Sampah dapat berada pada setiap fase materi: padat, cair, atau gas. Ketika dilepaskan dalam dua fase yang disebutkan terakhir, terutama gas, sampah dapat dikatakan sebagai emisi. Emisi biasa dikaitkan dengan polusi.

Dalam kehidupan manusia, sampah dalam jumlah besar datang dari aktivitas industri (dikenal juga dengan sebutan limbah), misalnya pertambangan, manufaktur, dankonsumsi. Hampir semua produk industri akan menjadi sampah pada suatu waktu, dengan jumlah sampah yang kira-kira mirip dengan jumlah konsumsi.


Jenis-jenis sampah

Tempat penampungan sampah
Tempat penampungan sampah

by:citra yudha erlanggaBerdasarkan sumbernya

  1. Sampah alam
  2. Sampah manusia
  3. Sampah konsumsi
  4. Sampah nuklir
  5. Sampah industri
  6. Sampah pertambangan

[citra yudha erlangga]Berdasarkan sifatnya

  1. Sampah organik - dapat diurai (degradable)
  2. Sampah anorganik - tidak terurai (undegradable)

[citra yudha erlangga]Sampah alam

Sampah yang diproduksi di kehidupan liar diintegrasikan melalui proses daur ulang alami, seperti halnya daun-daun kering di hutan yang terurai menjadi tanah. Di luar kehidupan liar, sampah-sampah ini dapat menjadi masalah, misalnya daun-daun kering di lingkungan pemukiman.

[citra yudha erlangga]Sampah manusia

Sampah manusia (Inggris: human waste) adalah istilah yang biasa digunakan terhadap hasil-hasil pencernaan manusia, seperti feses dan urin. Sampah manusia dapat menjadi bahaya serius bagi kesehatan karena dapat digunakan sebagai vektor (sarana perkembangan) penyakit yang disebabkan virus dan bakteri. Salah satu perkembangan utama pada dialektika manusia adalah pengurangan penularan penyakit melalui sampah manusia dengan cara hidup yang higienis dan sanitasi. Termasuk didalamnya adalah perkembangan teori penyaluran pipa (plumbing). Sampah manusia dapat dikurangi dan dipakai ulang misalnya melalui sistem urinoir tanpa air.

[citra udha erlangga]Sampah Konsumsi

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sampah konsumsi

Sampah konsumsi merupakan sampah yang dihasilkan oleh (manusia) pengguna barang, dengan kata lain adalah sampah-sampah yang dibuang ke tempat sampah. Ini adalah sampah yang umum dipikirkan manusia. Meskipun demikian, jumlah sampah kategori ini pun masih jauh lebih kecil dibandingkan sampah-sampah yang dihasilkan dari proses pertambangan dan industri.

[citra yudha erlangga]Limbah radioaktif

Sampah nuklir merupakan hasil dari fusi nuklir dan fisi nuklir yang menghasilkan uranium dan thorium yang sangat berbahaya bagi lingkungan hidupdan juga manusia. Oleh karena itu sampah nuklir disimpan ditempat-tempat yang tidak berpotensi tinggi untuk melakukan aktifitas tempat-tempat yang dituju biasanya bekas tambang garam atau dasar laut (walau jarang namun kadang masih dilakukan).



Pengelolaan sampah merupakan proses yang diperlukan dengan dua tujuan:

  • mengubah sampah menjadi material yang memiliki nilai ekonomis , atau
  • mengolah sampah agar menjadi material yang tidak membahayakan bagi lingkungan hidup.

Terdapat perbedaan tentang pengelolaan sampah, tergantung dari jenis sampah itu sendiri.

citra yudha erlangga

demikianlah semua.Semoga anda dapat mngetahui apa itu sampah dan tahu cara pemanfaatannya.... wassalam



by:citra yudha erlangga